Cari Blog Ini

Minggu, 08 Agustus 2010

Doa-ku

“Allahumma inni as'alukal hudaa wat tuqaa wal 'afaafa wal ghinaa."

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon petunjuk hidup, ketakwaan, kesucian diri dan rasa cukup.” (HR. Muslim)


"Allohumma ashlih lanaa diinanaladzii huwa ishmatu amrinaa wa ashlih lanaa dunyanallatii fiihaa ma'asyunaa wa ashlihlanaa aakhiratanaallatii ilaihaa ma'aadunaa waj'alil hayaata ziyaa datan lanaa fii kulli khairin waj'alil mauta rahaatan lanaa min kulli syarin."

Artinya:
"Ya, Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penjaga urusanku. Perbaikilah duniaku yang merupakan tempat hidupku. Perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku. Dan jadikanlah hidup ini tambahan bagiku dalam setiap kebaikan. Serta jadikanlah kematian sebagai istirahat bagiku dari setiap kejahatan." (HR. Muslim)


"Allohumma inni a'uudzubika min 'adzaabi jahannam wamin 'adzaabilqobri wamin fitnatil mahya wal mamaati wamin syarri fitnatil massihiddajjal."

Artinya:
"Ya Allah, aku berlindung kepada Mu dari adzab jahannam, dan dari adzab kubur dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian, dan dari kejahatan fitnah dajjal."


"Allohumma inna nas aluka hubbak wa hubba man yuhibbuk wa hubba 'amalin yuqorribuuna ilaa hubbik"

Artinya:
"Wahai Allah, aku berharap akan cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan cinta kepada segala perbuatan yang mengarahkan aku pada cintaMu."

Kamis, 05 Agustus 2010

Copywriter vs Penipu, Kreatif Mana?

Advertising is by and large seen as an art – the art of persuasion – and can be defined as any paid for communication designed to inform and/ or persuade. (Paul Copley)

Copywriter vs penipu, kreatif mana? Wah kaget juga ketika mendengar pernyataan ini, walaupun reaksi berikutnya adalah tertawa. Akan tetapi, benarkah seorang copywriter itu menipu? Mari kita lihat, di kalangan masyarakat awam, kita sering mendengar, “Awas, jangan jadi korban iklan!” atau “Jangan tertipu oleh iklan!” Nah lo, siapa otak penipuan itu?? hehe. Copywriter pun akan angkat bicara, “Kami tidak bermaksud menipu, hanya memenuhi permintaan klien saja.” Semakin iklan tersebut mampu mempengaruhi khalayak, semakin tinggi nilainya.

Pada dasarnya, iklan merupakan sarana komunikasi yang digunakan komunikator (dalam hal ini perusahaan atau produsen) untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, khususnya pelanggannya melalui suatu media. Selain itu, semua iklan dibuat dengan tujuan yang sama, yaitu untuk memberi informasi dan membujuk para konsumen untuk mencoba atau mengikuti apa yang ada di iklan tersebut, dapat berupa aktivitas mengkonsumsi produk dan jasa yang ditawarkan.

Dalam membuat iklan, seorang copywriter dituntut memahami beberapa elemen, di antaranya elemen heard words, music, seen words, picture, colour, dan movement. Idealnya, seorang copywriter juga memahami penulisan script film (namun hal ini tidak mutlak). Suatu iklan, baik komersial maupun corporate, diharapkan memiliki efek atau pengaruh. Menurut Hierarchy of effects’ steps, efek iklan tersebut adalah the message (pesan), messages are sent/put unto effect (pesan disampaikan), the messages are received (pesan diterima), understandings are taken from them (pesan mulai dimengerti), the effects of these understandings on thought and attitude take place (pengaruh dari pengertian tersebut diimplementasikan melalui pemikiran dan sikap), dan a change behaviour follows (ada perubahan sikap yang mengikuti). Hal inilah yang jadi perbedaan antara copywriter dan penipu.

Tidak terbayangkan jika kita menonton sinetron atau acara televisi lainnya tanpa ada iklan, pasti teaser-nya tidak akan terasa, hehe. Terakhir, mari kita ikuti salah satu pesan sponsor berikut.

Produk: Kartu Perdana Fren
Tuti adalah seorang siswi SMA. Ketika tiba di sekolah, ia terlambat, pintu gerbang dikunci, dan ia tidak boleh masuk.
Tuti: Tunggu Pak, jangan ditutup dulu gerbangnya!!!!
(Lari menuju gerbang sekolah)
Pak satpam: Tidak boleh!!!! Tuuh!! (Sambil menunjuk jam dinding)
Tuti: Yaaahhh…… (Dengan wajah kecewa)
“Tuti telepon Mama”
Mama: Iya sayang, kenapa??
Tuti: Ma, aku telat!!!
(Seketika telepon ditutup)
Mama: Halo, halo, sayang???!!!
“Papa menemukan kunci duplikat baru yang hilang, kemudian telepon Mama”
Mama: Iya, Pa!!
Papa: Ma, aku dapat yang baru loooh!!!
(Seketika telepon ditutup)
Mama: Papa!!!???
Aaaarrrggghhh………
Anakku hamil,,,suamiku kawin lagi!!!???
Fren……… !!! !!!
Makanya!!! Ngomong jangan setengah-setengah!!! Pakai Fren,,gratis telepon sesama Fren!!! Murah ke semua operator!!!


MM2100, 7 April 2010

Rabu, 04 Agustus 2010

Pangeran “El Nino” dan Putri “La Nina”


Berawal ketika Festival Natal Peruvian, terjadi pemanasan di Pantai Peru. Ahli meteorologi memberikan nama fenomena Osilasi Selatan El Nino atau El Nino Southern Oscillation (ENSO). El Nino berarti seorang laki-laki, karena bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Isa. Kebalikan dari fenomena ini yaitu pendinginan samudra Pasifik Selatan, pertama kali dinamakan dengan Anti El Nino. Untuk menghindari pengertian yang berlawanan, kemudian diberikan nama La Nina. La Nina berarti seorang perempuan.

Apakah El Nino dan La Nina Itu?
Pengukuran temperatur permukaan air laut secara global yang dilakukan oleh Universitas Wiconsin-Madison, menunjukkan bahwa temperatur Samudra Pasifik Timur (dekat dengan Ecuador, Peru, dan Galapagos) adalah hasil osilasi selatan El Nino.

Osilasi Selatan El Nino merupakan pergantian siklus pemanasan dan pendiginan permukaan Samudra Pasifik Tengah dan Timur. Pada kondisi normal, bagian samudra tersebut lebih dingin dari wilayah khatulistiwa, sebagian besar karena pengaruh angin pasat timur laut. Arus dingin mengalir naik ke Pantai Chili, hingga ke sumber air dingin di Pantai Peru.

Saat sumber air dingin menyusut, menyebabkan permukaan Pasifik Tengah dan Timur menjadi hangat karena penyinaran musim kemarau. Fenomena tersebut dinamakan dengan fenomena El Nino. Hal tersebut berpengaruh pada curah hujan di Amerika Selatan dan kekeringan panjang di Australia Timur.

Pada waktu lain, injeksi air dingin lebih hebat dari biasanya hingga menyebabkan permukaan Pasifik Timur menjadi dingin. Fenomena tersebut dinamakan dengan fenomena La Nina. Hal tersebut berpengaruh pada curah hujan panjang di Australia Timur dan musim kemarau di Amerika Selatan.

Fenomena El Nino dan La Nina

Pada peta temperatur permukaan air laut, 18 Maret 2002 (gambar 1) menunjukkan hampir seluruh Pasifik Timur tertutup air hangat dan menghapus “lidah dingin” yang merupakan ciri khas La Nina di khatulistiwa. Penelitian tentang El Nino-La Nina disampaikan oleh Tahiti dan Bureau of Meteorology dari Australia. NOOA juga melaporkan setiap sub-permukaan air menghangat, menandai terjadinya El Nino kembali.

Menurut Dr. Theodor Landscheidt, dalam hipotesisnya menyatakan bahwa fenomena matahari merupakan pemicu fenomena El Nino dan La Nina. Intensitas keduanya dan lama peristiwa menentukan siapa yang terkena banjir, siapa yang terkena kekeringan, serta berapa lama bencana terjadi.

Kapan El Nino dan La Nina Terjadi?

El Nino hebat pernah terjadi tahun 1982-1983 yang menyebabkan kekeringan panjang di Australia Timur dan Tasmania. Sedangkan pada tahun 1988, terjadi La Nina yang ditandai dengan banjir di Queensland dan new South Wales.

Pada periode 1991-1995, El Nino lebih lemah dari peristiwa tahun 1982/1983 tetapi lebih lama berakhir. Queensland dan pedalaman New South Wales menderita ketimpangan kekeringan panjang selama 4 tahun penuh karena El Nino. Baru pada tahun 1996, La Nina memperbaiki hal tersebut, curah hujan meluas ke seluruh Australia Timur.

El Nino kembali pada pertengahan 1997, diikuti dengan La Nina pada pertengahan 1998. Akhir tahun 2002, Fl Nino dan La Nina telah berkurang. Namun, penelitian El Nino-La Nina masih merupakan hal vital bagi warganegara Australia dan pantas menjadi penelitian iklim utama bagi para ilmuwan.

Telah diterbitkan di salah satu media cetak
Anna La Vidda -- 2006

Pudarnya Pesona Cleopatra

Habiburrahman El Shirazy

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal. "Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu," kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan
untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu," ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi di hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan
diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas, aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran)
sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby
face dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi
bintang iklan Lux lho, asli! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung
melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa
tanpa cinta, Pesta pun meriah dengan empat group rebana. Lantunan
shalawat Nabi pun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya
harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku
yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan di pinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain.
Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih
banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku adalah
sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku
sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihana pun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan, maka dia pun tanya, tetapi kujawab
"tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga." Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', "kenapa Mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku." tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.
"wallahu a'lam," jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa Mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini." Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukan apa-apa, kecuali segelas
kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji
dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa?" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih." lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas, airnya sudah siap." kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri di depan pintu membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe." Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang
dilakukan ibu. "Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati
pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak
tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas." "Biasanya dikerokin"
jawabku lirih. "Kalau begitu kaos Mas dilepas ya, biar Hana kerokin."
sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana
membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu, aku merebahkan diri di tempat tidur.
Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur
sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin
menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan
Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk makan malam di istananya. "Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu," kata Ratu Cleopatra. "Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu."
Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba, "Mas, bangun, sudah
jam setengah empat, Mas belum sholat Isya," kata Raihana membangunkanku.
Aku terbangun dengan perasaan kecewa. "Maafkan aku Mas, membuat Mas
kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas
mukenanya, mungkin dia baru selesai shalat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka
sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia
bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk shalat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar
terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
"Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,
tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang." Suara
lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada zaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
"Maaf, maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. "Mbak! Eh maaf,
maksudku D..Din..Dinda Hana!” panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. "Ya Mas!" sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". "Matanya sedikit berbinar. "Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng ke sana, habis shalat dhuhur, Insya Allah." ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum
bersinar dibibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?" Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa. Ia tetap sabar mencurahkan
bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang
kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan
Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. "Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik di kampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang
sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki
Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan, ia
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir
tentang keturunan. "Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu," kata ibuku.
"Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami.
Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku
tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana.
Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur,
aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku
sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa.
Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera.
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya "Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. "Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta." gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan
ke enam. Raihana minta izin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan
alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke rumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, "Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh di bawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita."
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari
aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat
kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana.
Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk
angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan
menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum shalat Isya dan terlambat shalat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan shalat Isya, dan tidak terlambat shalat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Di antaranya tutornya adalah professor Bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir. Dalam pelatihan, aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen Bahasa Arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia
menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur
dijalani.
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah." jawabku. "Dengan orang mana?". "Orang Jawa."
"Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?"
"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran."
"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku." "Kenapa dengan Bapak?"
"Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan
orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang."
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik dan karena terpesona
dengan kecantikannya, saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya
seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir
dengan biaya orang tua. Di sana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya
lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya
yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya
jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya
bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat daripada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai
S1, saya kembali ke Medan, saya minta agar aset yang di Mesir dijual
untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun, tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya
mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan.
Jika saya pingin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.
Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan di atas segalanya. Saya telah
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka
berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis
saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu
di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. "Aku menyesal menikah
dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir." Kata Yasmin yang bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu
dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman dan istrinya
sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi.
Dua bulan yang lalu, saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap di hati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala di dinding. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan yang disimpan di bawah bantal.
Di bawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir,
darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku "serong"?. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal
hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba." tulis Raihana. Dalam akhir tulisannya, Raihana berdoa, "Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk
tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau Maha Tahu bahwa
hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah, kecuali Engkau, Maha Suci Engkau."
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang
luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana
terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana Raihana Bu?" Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi. "Raihana, istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya."
"Ada apa dengan dia." "Dia telah tiada." "Ibu berkata apa!" "Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar
mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat.
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhainya".
Hatiku bergetar hebat. "Ke… kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?"
"Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami."
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku,
dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya, dia telah tiada.
Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk
sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru
di kuburan pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis di sana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup
kembali. Tiba-tiba dunia gelap gulita.

Cerita ini diperuntukkan
Bagi orang-orang yang hanya menilai wanita
dari kecantikan luarnya saja.

Download Pudarnya Pesona Cleopatra, ikuti tautan berikut:
http://www.ziddu.com/download/11064925/PudarnyaPesonaCleopatra.doc.html